POTENSI PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT DENGAN JENIS TANAMAN KAYU LOKAL
Pembangunan dan pengembangan hutan rakyat merupakan salah satu sasaran dari program revitalisasi kehutanan untuk memenuhi kebutuhan kayu selain dari hutan alam dan hutan tanaman industri. Defisit kebutuhan kayu yang terus terjadi merupakan salah satu peluang untuk mengembangkan dan membangun hutan rakyat yang ditargetkan pemerintah seluas 2 juta hektar sampai dengan tahun 2009. Hutan rakyat yang dikembangkan dengan jenis tanaman lokal seperti kayu bambang dan kayu bawang telah lama diusahakan oleh masyarakat secara swadaya. Hutan rakyat dengan kedua jenis tersebut terbukti telah mampu bertahan selama ini dan memberikan kontribusi kesejahteraan bagi masyarakat yang mengusahakannya di Lahat, Sumatera Selatan dan Bengkulu Utara.
Kata kunci : Hutan rakyat, jenis lokal, kayu bambang, kayu bawang
A. Pendahuluan
Manfaat hutan dari sisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya saat ini cenderung terus berkurang karena kerusakan hutan yang terus terjadi. Penebangan berlebihan disertai pengawasan lapangan yang kurang, penebangan liar, kebakaran hutan dan alih fungsi lahan hutan merupakan beberapa faktor penyebab kerusakan hutan yang terjadi saat ini. Berdasarkan data yang ada, kerusakan lahan dan hutan di Indonesia telah mencapai 59,2 juta hektar dengan luasan lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan mencapai 42,1 juta hektar (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007). Laju deforestasi saat ini relatif masih tinggi walaupun cenderung menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2007) dalam Kementerian Lingkungan Hidup (2007) laju deforestasi antara tahun 2000 – 2006 mencapai 1,19 juta hektar, dimana angka tersebut lebih kecil dibandingkan laju deforestasi antara tahun 1997 – 2000 yang mencapai 2,83 juta ha/tahun.
Upaya perbaikan kondisi hutan yang semakin rusak perlu segera dilakukan untuk mengurangi dampak negatif yang beruntun dari kerusakan hutan dan meningkatkan manfaat sumberdaya hutan bagi lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak negatif dari kerusakan hutan dan untuk meningkatkan produktivitas sumber daya hutan melalui peningkatan peran berbagai pihak terkait maka revitalisasi kehutanan merupakan kebijakan pemerintah yang strategis. Revitalisasi sektor kehutanan menjadi bagian penting dalam medukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Salah satu sasaran dari program revitalisasi kehutanan adalah pembangunan dan pengembangan hutan tanaman dan hutan rakyat untuk penyediaan bahan baku kayu dalam memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat domestik dan global. Untuk mendukung sasaran tersebut maka dalam periode tahun 2005-2009 pemerintah menargetkan pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta hektar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal RLPS (2006), luas hutan rakyat di Indonesia sampai dengan April 2006 tercatat 1.272.505,61 ha.
Peluang pengembangan hutan rakyat cukup terbuka dalam rangka penyediaan bahan baku kayu. Kebutuhan kayu nasional saat ini 57,1 juta m3 per tahun dengan kemampuan hutan alam dan hutan tanaman untuk menyediakannya sebesar 45,8 juta m3 per tahun (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007). Dengan kondisi tersebut, terjadi defisit kebutuhan kayu sebesar 11,3 juta m3 per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan kayu tersebut, penebangan ilegal banyak terjadi di kawasan hutan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007). Upaya untuk menekan defisit kebutuhan kayu yang terjadi adalah dengan membangun hutan rakyat di berbagai daerah. Untuk mencapai target pembangunan hutan rakyat yang ditetapkan pemerintah saja masih perlu dibangun sekitar 700.000 hektar hutan rakyat sampai dengan tahun 2009. Luas hutan rakyat di Sumatera Selatan tercatat 55.443,95 hektar atau 4,36 % dari total luas hutan rakyat di Indonesia (Direktorat Jenderal RLPS, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan hutan rakyat di Sumatera Selatan masih dapat terus dikembangkan.
Hutan rakyat yang dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat telah lama bekembang dan memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat. Hutan rakyat damar mata kucing (Shorea javanica) di Krui, Lampung Barat, yang telah dikelola masyarakat lebih dari seratus tahun merupakan kisah sukses petani Krui dalam membangun hutan tanaman di dunia (Martin, et.al., 2003). Hutan rakyat dalam bentuk agroforestry tradisional sudah memainkan peranan penting dalam perbaikan produktivitas dan keberlanjutan sistem pertanian tradisional maupun yang semakin berorientasi pasar, sejak puluhan tahun yang lalu (Djogo, 1993). Pola agroforestry dengan tanaman kayu bambang lanang (Maduca asphera H.J.Lam) yang dikembangkan secara turun temurun di Ulu Musi, Lahat, telah mampu mencukupi kebutuhan masyarakat dan bahkan memperbaiki masa depan anak-anak mereka (Martin,et.al., 2003). Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis-jenis tanaman lokal cukup potensial untuk dikembangkan di hutan rakyat.
B. Karakteristik Umum Hutan Rakyat.
Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungan yang pemilikannya berada pada rakyat (Dirjen RRL Departemen Kehutanan, 1996). Menurut SK Menteri Kehutanan No.49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50 % dan atau tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar.
Pengertian hutan rakyat di luar jawa adalah lahan yang dimiliki rakyat dan di luar konsesi tersebut dan dibebani hak milik dan atau hak lainnya termasuk hutan produksi yang dapat dikonversi dengan dikelola secara intensif dan didominasi oleh tanaman kayu-kayuan yang dikerjakan secara perorangan, kelompok, atau badan hukum (Dirjen RRL Departemen Kehutanan, 1996).
Menurut Purwanto, dkk. (2004), secara umum ada beberapa karakteristik hutan rakyat antara lain :
- Luas lahan rata-rata yang dikuasai sempit.
- Pada umumnya petani berlahan sempit menanam kayu-kayuan dengan tanaman lainnya dengan pola tumpangsari, campuran agroforestri, sedangkan petani berlahan luas yang komersil memungkinkan pengembangan hutan rakyat dengan sistem monokultur.
- Tenaga kerja yang digunakan berasal dari dalam keluarga.
- Skala usaha kecil
- Kontinyuitas dan mutu kayu kurang terjamin.
- Beragamnya jenis tanaman dengan daur yang tidak menentu atau beragam.
- Kayu dalam hutan rakyat tidak diposisikan sebagai andalan pendapatan rumah tangga petani tetapi dilihat sebagai ”tabungan” yang segera dapat dijual pada saat dibutuhkan.
- Teknik silvikultur sederhana dan memungkinkan pengembangan dengan biaya rendah, meskipun hasilnya kurang optimal. Namun kontinyuitas hasil dalam horizon waktu dan penyebaran resiko menjadi pilihan petani bagi petani kecil.
- Keputusan pemanfaatan lahan untuk hutan rakyat seringkali merupakan pilihan terakhir apabila pilihan lainnya tidak memungkinkan.
- Kayu tidak memberikan hasil cepat, bukan merupakan komoditi konsumsi sehari-hari, membutuhkan waktu lama sehingga pendapatan dari kayu rakyat merupakan pendapatan sampingan dalam pendapatan rumah tangga petani.
- Usaha hutan rakyat merupakan usaha yang tidak pernah besar tetapi tidak pernah mati.
- Instansi dan organisasi yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat cukup banyak tetapi tidak ada satupun yang bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hutan rakyat.
- Perundangan, kebijakan, tata nilai, tata prilaku dan sebagainya belum optimal mendukung pengembangan hutan rakyat.
Hasil kajian yang dilakukan oleh Martin et al. (2003) mengenai status perkembangan hutan rakyat di Propinsi Sumatera Selatan mengungkapkan bahwa terdapat 3 (tiga) pola pengelolaan hutan rakyat yang berkembang di Sumatera Selatan, yaitu : (a) Hutan rakyat tradisional; yaitu hutan rakyat yang dikembangkan secara turun-temurun oleh beberapa kelompok masyarakat asli di Sumsel, seperti kebun bambang dan benuaran durian di Kabupaten Lahat, kebun duku di Kabupaten OKI, OKU, Lahat, Muara Enim dan MUBA. Ciri utama hutan rakyat tradisional adalah menggunakan jenis tanaman dan teknik budidaya yang diwariskan turun menurun. (b) Hutan rakyat komersial; yaitu hutan rakyat yang berkembang karena adanya komersialisasi jenis atau termotivasi oleh gambaran keuntungan yang akan didapat pada masa panen, misalnya hutan rakyat jati yang tersebar di Kabupaten OKI, Musi Rawas dan Lahat. Ciri utama hutan rakyat komersial adalah menggunakan jenis tanaman preferensi pemilik lahan dan dengan teknik budidaya yang intensif; (c) Hutan rakyat kemitraan; merupakan pola hutan rakyat yang dikembangkan atau diinisiasi oleh suatu badan usaha kehutanan. Masyarakat pemilik lahan hanya menyediakan areal yang diperuntukkan untuk pembangunan hutan rakyat. Sementara perusahaan (mitra) menyiapkan pendanaan, jenis tanaman, teknik budidaya dan infrastruktur pemasarannya.
C. Hutan Rakyat Bambang Lanang (Madhuca aspera H.J.Lam.)
Karakteristik Kayu Bambang Lanang
Bambang Lanang yang dikenal juga dengan nama kayu medang bambang tersebar di Lematang Ulu pada ketinggian 150 mdpl. Saat ini tegakan dapat dijumpai pada beberapa wilayah di Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam. Bambang Lanang (M. aspera) yang termasuk dalam famili Sapotaceae merupakan salah satu jenis andalan Kabupaten Lahat. Jenis ini telah lama digunakan sebagai bahan bangunan oleh masyarakat setempat karena kayunya yang kuat dan awet. Secara tradisional petani telah membudidayakan kayu bambang dengan motivasi awal untuk memenuhi konsumsi kayu pertukangan bagi keluarga.
Budidaya tanaman bambang lanang dimulai dengan penanganan benih, pembibitan dan penanaman. Pengumpulan benih dilakukan dengan cara memanjat pohon induk dan memotong ranting yang berbuah lebat dan sudah matang (berwarna merah) kemudian dibersihkan dari kulit buah. Selanjutnya diseleksi untuk mendapatkan benih yang baik dan seragam untuk disimpan dam kulkas atau ruang AC dan dikecambahkan. Pengecambahan bambang lanang dilakukan dengan menabur benih pada bak kecambah. Penaburan dilakukan dengan membenamkan benih sekitar setengah sampai tiga per empat bagian ke dalam media yang telah dibuat larikan dengan jarak 2 cm. Media tabur yang digunakan berupa campuran top soil dan pasir dengan perbandingan 50 : 50. Setelah benih berkecambah dan telah mempunyai 3-4 daun disapih ke dalam polybag berukuran 12 x 15 cm yang berisi media top soil atau bisa ditambahkan dengan arang kompos hingga 30 %. Setelah disapih bibit dapat dipindahkan dan disusun di persemaian dengan naungan sedang (intensitas cahaya mencapai 4200-5350 lux (Siahaan, dkk., 2006). Setelah bibit berumur 3 bulan siap untuk di tanam di lapangan dengan beberapa pola tanam.
Pola Hutan Rakyat Kayu Bambang Lanang
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Ulya, dkk., (2006) di kabupaten Lahat, menunjukkan bahwa masyarakat menanam pohon Bambang Lanang dengan pola yang beragam. Secara umum dapat dinyatakan bahwa ada 2 pola, yaitu :
1. Kebun Bambang murni
Pada kebun Bambang murni, kebun ditanami pohon Bambang secara keseluruhan tanpa adanya tanaman sela.. Pada pola ini, jarak tanamnya adalah 5 m x 7 m. Kebun Bambang murni berlokasi di Desa Pajar Bhakti, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Empat Lawang. Pola tanam ini biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki lahan yang cukup luas sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dapat diperoleh dari lahan lain dan pekerjaan selain bertani
2. Kebun Bambang campuran
Pola tanam campuran dilakukan oleh masyarakat yang mempunyai lahan cukup sempit sehingga mereka menanam dengan tumpang sari. Sehingga dengan harapan selain tanaman pertanian/perkebunan masih ada harapan jangka panjang untuk kayu. Pada kebun campuran, ada dua macam pola tanam yaitu secara acak dan secara teratur. Pada pola campuran acak, semua tanaman ditanam secara acak tanpa adanya pola tertentu. Tanamannya antara lain pohon bambang, karet, merambung, bayur dan lada. Kebun dengan pola ini banyak dijumpai pada beberapa daerah di Ulu Musi. Pada kebun yang dicampur secara teratur, ada perbedaan pola yaitu pohon bambang dicampur dengan coklat, dengan jarak tanam pohon bambang 10 m x 10 m dan coklat 3 m x 3 atau dengan kata lain ada 3 tanaman coklat diantara 2 pohon bambang. Kebun dengan pola ini dijumpai pada beberapa lokasi di Desa Talang Tinggi, Kecamatan Jarai, Kabupaten Lahat. Pada umumnya pola tanam campuran dikerjakan di bekas lahan tanaman kopi yang sudah tidak produktif. Selain acak dan teratur masyarkat juga menanam tanaman bambang sebagai pagar tanaman perkebunan.
Berdasarkan hasil kajian Ulya, dkk. (2006) diketahui bahwa pada umur 10 tahun pohon bambang lanang sudah dapat dipanen dengan volume 0,5 m3/pohon tetapi harganya lebih rendah dibanding yang berumur 15 tahun yaitu dengan harga Rp. 900.000/m3. Sedangkan pada umur 15 tahun volumenya rata-rata 1 m3/pohon dengan harga yang lebih tinggi yaitu Rp. 1.000.000/m3. Secara umum analisis finansial budidaya pohon Bambang Lanang secara murni maupuan campuran layak diusahakan karena nilai BCR >1 dengan tingkat suku bunga yang digunakan adalah 12%. Permintaan kayu bambang lanang cukup tinggi tetapi sampai saat ini masih untuk memenuhi kebutuhan lokal masyarakat di sekitar kabupaten Lahat untuk membuat rumah dan furniture. Mengingat tingginya permintaan kayu bambang lanang sehingga peluang untuk budidaya masih cukup tinggi.
D. Hutan Rakyat Kayu Bawang (Protium javanicum)
Karakteristik Kayu Bawang
Kayu Bawang merupakan salah satu jenis kayu yang telah banyak dibudidayakan oleh masyarakat di daerah Bengkulu Utara. Kayu ini menjadi jenis unggulan di Propinsi Bengkulu. Tanaman ini mampu tumbuh pada jenis tanah Alluvial dan Podsolik Merah Kuning serta tidak memerlukan persyaratan tempat tumbuh yang spesifik. Sebaran ketinggian topografi antara 0 - 1.000 meter dari permukan laut (mdpl) merupakan tempat tumbuh kayu ini (Dinas KehutananKabupaten Bengkulu Utara, 2004).
Bibit kayu bawang diperoleh dari benih dan cabutan alam. Benih tanaman ini hanya bertahan selama 10 hari (rekalsitran) dan setelah itu daya kecambahnya akan menurun drastis (Sofyan, et.al., 2003). Perkecambahan terbaik diperoleh dari kombinasi kadar air biji 40 % dan lama penyimpanan 5 hari, berkecambah setelah 4-7 hari, penyapihan dilakukan selama 2-4 minggu setelah berkecambah dengan tinggi + 7 cm dan berdaun 2 lembar (Dinas Kehutanan Propinsi Bengkulu dalam Sofyan, et.al., 2003).
Tanaman kayu bawang dapat mencapai tinggi 30 meter dengan diameter 75 cm. Hasil penelitian Apriyanto (2003) di Bengkulu Utara menunjukkan bahwa pertumbuhan kayu bawang yang ditanam secara monokultur dengan jarak tanam 4 m X 4 m sampai umur 9 tahun memiliki riap diameter batang rata-rata per tahun 1,93 cm, riap tinggi rata-rata per tahun 2,14 m dengan potensi volume rata-rata per tahun mencapai 24,42 m3. Hal tersebut menunjukkan bahwa tegakan tersebut dapat dimasukkan ke dalam kategori tegakan yang produktif. Hasil penelitian Triwilaida (2003) dalam Sofyan (2003) menunjukkan bahwa Kayu Bawang yang ditanam dengan jarak tanam 4 m X 4 m pada umur 5 tahun tingginya mencapai 23,75 m dan diameter batang 16,6 – 24,6 cm. Hasil pengamatan yang telah diutarakan sebelumnya menunjukkan bahwa kayu Bawang memiliki pertumbuhan yang cukup baik sehingga cukup potensial untuk dikembangkan.
Kondisi fisik kayu Bawang antara lain batangnya lurus dengan tajuk yang relatif sempit. Selain itu batangnya berwarna kuning kemerahan , mudah diolah dan memiliki aroma seperti bawang yang menjadikannya relatif tidak diserang rayap. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nuriyatin, et.al. (2003) kayu Bawang memiliki tingkat ketahanan B atau tingkat ketahanan cukup tahan sampai tahan terhadap serangan rayap. Sifat mekanika kayu Bawang antara lain memiliki berat jenis 0,56, kelas awet IV, kelas kuat III , dan terapung + (Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkulu Utara, 2004).
Pola Hutan Rakyat Kayu Bawang
Kayu bawang telah dibudidayakan oleh masyarakat di Bengkulu Utara sejak jaman penjajahan Jepang (Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkulu Utara, 2004). Sebagian besar masyarakat menanam kayu bawang di kebun atau pekarangan. Hasil penelitian Martin, et.al. (2005) menyatakan bahwa kayu bawang bagi masyarakat telah menjadi komoditas budidaya tradisional yang tetap dipertahankan. Propinsi Bengkulu telah menetapkan jenis tanaman ini sebagai jenis unggulan dan akan dikembangkan hingga mencapai luas tegakan kayu bawang 10.000 ha pada tahun 2008 (Apriyanto, 2003).
Saat ini hampir seluruh tegakan kayu bawang di Bengkulu Utara merupakan milik masyarakat. Masyarakat menanam kayu bawang secara swadaya pada lahannya masing-masing untuk nantinya digunakan sebagai bahan bangunan dan mebeleur. Hasil penelitian Martin,et.al. (2005) menunjukkan bahwa tujuan masyarakat menanam kayu bawang sebagian besar adalah untuk penyiapan kebutuhan bahan bangunan pada masa mendatang dan sebagian lain bertujuan investasi atau komersial. Hasil penelitian tersebut juga memberikan hasil bahwa sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa usaha budidaya kayu bawang menguntungkan bagi mereka dan akan terus memelihara dan menanam kayu bawang.
Pola budidaya kayu bawang yang dilakukan masyarakat di Bengkulu Utara dilakukan dalam bentuk hutan rakyat murni maupun campuran. Namun sebagian besar budidaya dilakukan secara campuran dan budidaya secara murni biasanya dilakukan oleh kalangan ekonomi menengah ke atas dengan tujuan investasi atau tabungan. Kayu bawang juga ditanam oleh masyarakat sebagai tanaman tepi seperti untuk batas kebun, batas kepemilikan lahan, dan tanaman pagar di tepi jalan.
Budidaya kayu bawang dalam bentuk hutan rakyat murni masih jarang dilakukan oleh masyarakat. Budidaya monokultur kayu bawang biasanya membutuhkan bibit sebanyak 1250 batang/hektar dengan jarak tanam 3 m X 3 m. Jumlah bibit tersebut sudah termasuk untuk sulaman. Pada tahun ke-7 dilakukan penjarangan tanaman sehingga jarak tanam akhir adalah 6 m X 6 m dengan kerapatan tanaman 275 batang/hektar. Pemeliharaan yang dilakukan biasanya berupa penyiangan yang dilakukan 2 kali setahun dan pemangkasan terhadap cabang-cabang yang tumbuh pada umur 3 tahun.
Budidaya kayu bawang dalam bentuk hutan rakyat campuran merupakan pola budidaya yang banyak dilakukan oleh masyarakat. Tanaman kayu bawang dicampur dengan tanaman kopi, duren dan karet dalam satu lahan budidaya. Lahan milik yang letaknya relatif dekat dengan permukiman biasanya diusahakan dengan tanaman pokok berupa kopi atau karet dengan kayu bawang sebagai tanaman selingan yang terpencar atau sebagai pembatas kepemilikan. Sedangkan lahan milik yang berada relatif jauh dari permukiman biasanya didominasi oleh tegakan kayu bawang atau bercampur di antara tanaman budidaya lainnya (Martin,et.al., 2005). Budidaya kayu bawang yang dilakukan secara campuran dan teratur biasanya membutuhkan bibit termasuk untuk sulaman dengan jumlah 450 batang/hektar dan jarak tanam 5 m X 5 m (Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkulu Utara, 2004).
Gangguan hama dan penyakit yang meyerang kayu bawang sampai dengan saat ini jarang sekali ditemukan. Hal tersebut diduga berkaitan dengan karakteristik kayu bawang yang memiliki aroma bawang dan kayunya pahit sehingga jarang diserang hama dan penyakit.
Kayu Bawang idealnya dapat dipanen pada umur 15-20 tahun. Namun seiring dengan meningkatnya kebutuhan kayu untuk berbagai penggunaan, saat ini Kayu Bawang mulai dipanen pada umur 10-12 tahun. Harga bahan baku Kayu Bawang per m3 di Bengkulu Utara pada bulan Nopember 2006 berkisar antara Rp. 1.000.000,00 – Rp. 1.200.000,00. Perkiraan hasil panen kayu per pohon pada saat penebangan adalah 1,10 m3 dengan pertimbangan tinggi/panjang kayu yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku sekitar 8 m, diameter batang rata-rata sekitar 50 cm, dan angka bentuk 0,7. Pada pola hutan rakyat murni, hasil kayu mulai diperoleh ketika dilakukan penjarangan pada umur 7 tahun.
Kayu bawang banyak digunakan oleh masyarakat untuk bahan bangunan karena berdasarkan pengalaman mereka kayunya dapat bertahan puluhan tahun. Selain itu, kayu bawang juga digunakan untuk bahan mebeuleur karena memiliki serat kayu yang halus sehingga mudah diolah dan permukaan kayunya memiliki corak yang khas. Kayu bawang dapat dijadikan kursi, tempat tidur, meja, dan lemari yang menjadikan nilai jual kayu bawang meningkat. Saat ini pemasaran barang-barang mebeuleur dari kayu bawang di Bengkulu masih untuk memenuhi permintaan lokal Bengkulu. Walaupun permintaan dari Pulau Jawa mulai ada namun industri mebeuleur kayu bawang rata-rata tergolong industri kecil rumah tangga yang masih berkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan lokal.
Walaupun hasil akhirnya berupa bahan baku kayu namun hasil sampingan berupa benih dengan jumlah sekitar 10.000 buah benih per pohon per tahun dapat diperoleh setelah tanaman berumur 7 tahun (Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkulu Utara, 2004). Harga benih kayu bawang pada bulan Nopember 2006 adalah Rp. 150.000,00 – Rp. 250.000/kaleng dengan jumlah benih antara 4.000 – 5.000 buah. Permintaan benih kayu bawang selalu ada setiap tahunnya terutama untuk keperluan rehabilitasi lahan.
E. Penutup
Hutan rakyat dengan jenis-jenis lokal seperti kayu bambang (Maduca asphera) dan kayu bawang (Protium javanicum) cukup potensial dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu yang cenderung terus meningkat dan semakin berkurangnya pasokan kayu dari hutan alam. Hutan rakyat dengan jenis-jenis lokal terbukti telah mampu bertahan dan memberikan kontribusi bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat. Hutan rakyat kayu bambang dan kayu bawang dapat dijadikan contoh nyata pembelajaran bagi berbagai pihak terkait untuk memotivasi pengembangan hutan rakyat dengan jenis lokal di daerah lainnya.
0 komentar:
Post a Comment